Rabu, 08 April 2015

Sejarah Kota Samarinda

Sejarah Kota Samarinda


Sejak zaman dahulu putra-putra Sulawesi Selatan (Suku Bugis-Makasar)terkenal dengan jiwa pelaut yg gagah berani,dengan perahu Pinisnya,mereka pernah menguasai pelayaran di perairan sekitar Australia bahkan sampai ke Madagaskar.
Disulawesi Selatan khususnya ,sejak abad ke-14 ada beberapa kerajaan yg terkenal seperti: Kerajaan Gowa,Bone,Sidenreng,Suppa,Wajo,Soppeng,Ajattappareng dal Luwu. Banyaknya kerajaan-kerajaan tersebut,maka potensi konflik berupa gesekan-gesekan politik(kekuasaan) sangat signifikan untuk terjadi.Kerajaan Gowa dan Bone berhasil bersatu saat Sultan Hasaniddin memegang tahta kerajaan di Gowa.sebagian di antara mereka hijrah ke Kerajaan Kutai Kertanegara di bawah pimpinan La Mohang Daeng Mangkona.Rombongan tiba di Kalimantan Timur di atas tercatat dalam sejarah karena rombongan Panglima Limboto tercatat sebagai pendiri kampung Bugis di Tanjung Redeb Kabupaten berau , La Mohang Daeng Mangkona diberikan tempat oleh raja Kutai yg Belakangan menjadi kota Samarinda,Ibu Kota Propinsi Kalimantan Timur saat ini.                                   Semula rombongan tersebut memilih daerahsekitar muara sungai karang mumus (daerah Selili sekarang.Tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena airnya berputar dan banyak kotoran sungai,selain itu terlindung oleh Gunung.kemudian mereka pindah kedaerah seberang, yakni Samarinda Seberang sakarang ini.                                    Dengan rumah rakit yang berada di atas air,harus sama tinggi antara rumah satu dan lainnya,yg melambangkan ”tidak ada perbedaan derajat,apakah bangsawan ataukah rakyat biasa,semua SAMA derajatnya”.Dengan lokasi yg berada disekitar muara sungai,dan kiri-kanan sungai dataran rendah atau “RENDA”. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama kelamaan (dengan ejaan ) menjadi SAMARINDA.Setelah diadakan permufakatan antara mereka,maka perkampungan itu diberi nama SAMARENDA yang berarti:tidak ada yg lebih tinggi keturunan bangsawannya. Ini ditunjukan dengan rumah-rumah mereka yg di rakit-rakit,tidak ada yg lebih tinggi dari yang lainnya guna menampakan rasa persamaannya diantara mereka di rantau orang. sejak itulah perkampungan mereka dinamakan SAMARENDA dan sekarang ditulis dan diucapkan SAMARINDA.      Ketika pemerintah Belanda menjadikan lokasi Samarinda Kota sebagai pusat Pemerintahan di Afdeeling Oost-Borneo,maka peranan Samarinda kian berkurang dan akhirnya perkampungan Samarinda diubah menjadi SAMARINDA SEBERANG.Tidak berapa lama Samarinda sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di perairan Mahakam,dan penduduknya terus bertambah,baik dari pendatang orang Bugis maupun orang-orang Kutai di dekitarnya,sehingga terbentuk menjadi 3 kampung,yakni Kampung Mesjid,Kampung Dagang dan Kampung Pasar.          Kota Samarinda terus diperintah di baeah Pua Ado ( yg setiap pengangkatannya di setujui oleh raja Kutai ).Diadakan pemilihan Pua Ado baru,dan terpilihlah sepuppu La Mohang Daeng Mangkona,yg bernama La Sawedi Daeng Mappoji ( Sitebba ),Sebagai Pua Ado kedua.Samarinda bertambah pesat kemajuannya.Pelabuhan yg diperbesar ,memudahkan arus angkutan barang perdagangan antara Samarinda dengan Makasar dan kota-kota lainnya.Sebagaian besar penduduk Samarinda masih tunduk patuh kepada raja Kutai,sesuai dgn sumpah mereka dahulu untuk terus mengabdi kepada raja Kutai.raja-raja Kutai sejak kedatangan rombongan Bugis (tahun 1668 ),sudah ada percampuran darah dengan raja-raja Bugis,sehingga raja Kutai adalah raja mereka juga.


Masa Pemerintahan Pua Ado di Samarinda
Dari catatan yg dapat dikumpulkan bahwa dari tahun 1668 sampai dengan tahun 1906 ada 10 orang Pua Ado yg memerintah di Samarinda.sesudah tahun 1906 Samarinda diberi kedudukan sebagai Distrik Samarinda Seberang yg dipimpin oleh Raden Panji Ario Projo ( tahun 1906-1910 ) semasa Sultan Mohammad Alimuddin.
1.   La Mohang Daeng Mangkona (tahun 1673-1746 )
2. La Sawedi Daeng Mappoji sebagai Pua Ado II (tahun 1746-1750)
3. Kapitan Nahkoda La Tojeng Daeng Ripetta sbagai Pua Ado III (tahun 1750-1799)
4. Kapitan La Made Daeng Punggawa Gelar Pua Ado IV (tahun 1799-1817 )
5. Uwa’na Soeboe Gelar Pua Ado V (tahun 1799-1817 )
6. Uwa’na Pangole Gelar Pua Ado VI ( tahun 1817-1843 )
7.  Haji Siduppa Daeng Parani Gelar Pua Ado VII ( tahun 1843-1852 )
8. Haji Barong Daeng Parage Gelar Pua Ado VIII ( tahun 1852-1867 )
9. Puanna Rappe Daeng Pesuro Gelar Pua Ado IX ( tahun 1861-1867 )
10.     Ade Lompo E,yang Langsung Di Bawah Pengawasan Sultan ( tahun 1870-1906 )























Hubungan La Madukkelleng Dengan Raja Kutai

Hubungan La Madukkelleng Dengan Raja Kutai

La Maddukkelleng adalah putra Raja Wajo (Arung Paniki) yg melarikan diri dari Sulawesi Selatan karena tidak ingin diadili di Bone, menyebrangi selat makassar dan tiba di Paser kemudian melanjutkan pelayaran memasuki sungai Mahakam.La Madukkelleng meminta suaka kepada Raja Kutai dan diberi lokasi yg sekarang tepatnya berada di Samarinda Seberang.
Di lokasi inilah Warga Bugis melangsungkan hidupnya dengan bercocok tanam dan menjalankan ajaran Islam sehari-hari.Raja Kutai yg berkuasa ( Sultan Idris ) kemudian menikahi Putri La Maddukkelleng dan tinggal di Istana sebagai permaisuri Raja.
Dari pernikahannya dikaruniai 3(tiga ) putra. Sewaktu perang bergejolak di Sulawesi Selatan antara Raja2 Bugis melawan VOC, Sultan Idris membantu mertuanya (Raja Wajo) di Sulawesi Selatan dan gugur dalam pertempuran.jadi Makam Raja Kutai (Sultan Idris) berada di Wajo(Paniki).Karena Putra Sultan Idris masih kecil sehingga kekuasaan Raja Kutai diambil alih oleh Aji Kado.
Karena hawatir Putra Raja Kutai (Sultan Idris) sebagai pewaris kerajaan dibunuh oleh penguasa kerajan saat itu maka permaisuri mengirim ke tiga putranya ke Wajo dan di besarkan oleh kakeknya ( Arung Paniki). setelah Dewasa Putra Sultan Idris bernama Sultan Muslihudin (Aji Imbut) kembali ke Kutai. Dalam pelayararannya singgah di Samarinda seberang menghimpun kekuatan kemudian merebut kembali kekuasaan kerajaan Kutai yg dulu dipegang oleh Ayahandanya.
Selanjutnya Sultan Muslihuddin sebagai Raja Kutai memindahkan ibukota kerajaan ke Tepian Pandan dan mengganti nama kota itu menjadi Tangga Arung yg artinya kediaman Raja dan karena pengaruh dialeg setempat sekarang nama kota  menjadi Tenggarong yg sekarang menjadi ibokota kabupaten Kutai Kartanegara.

Makam Raja Kutai di Kabupaten Wajo

Makam Raja Kutai di Kabupaten Wajo


Di dalam komplek makam yang baru saja mengalami pemugaran atas bantuan Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur tersebut, keseluruhan terdapat lima makam selain makam Arung Siengkang Lamaddukkelleng yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No.109/TK/1998 tanggal 6 Nopember 1998.
Bentuk nisan kelima makam tersebut berbeda satu dengan lainnya. Nisan Lamaddukelleng yang wafat tahun 1765 hanya berupa bongkahan batu yang digeletakkan di atas makam. Sedangkan makam Sultan Adji Muhammad Idris yang berdinding batu ditinggikan, nisannya menyerupai kelopak daun berukir.
13314693121473444213
Lima pusara dalam komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng di Kota sengkang/Ft: Mahaji Noesa
Makam La Tombong To Massekutta yang diperkirakan wafat tahun 1762, salah seorang putera Lamaddukkelleng, batu nisannya dibentuk menyerupai hulu keris (badik) berukir. Nisan dua makam lainnya yang juga tebuat dari batu alam, satu berbentuk perisai, dan satunya segi empat.
Dari Komplek Makam Lamaddukkelleng yang telah berlantai marmer ini kita dapat memandang vieuw indah pusat Kota Sengkang dengan Masjid Agung Ummul Qura yang menaranya dibangun berada di areal Lapangan Merdeka, dipisah jalur jalan poros menuju ke arah Kabupaten Soppeng.
Berada persis di tepi jalur utama Kota Sengkang, sepanjang waktu lingkungan komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng tak pernah sepi. Apalagi hanya sekitar 25 meter di seberang jalan, terletak sejumlah kantor dinas dalam lingkup Pemkab Wajo. Sedangkan di bagian belakang serta sisi kiri-kanan komplek diapit bangunan perkantoran dan perumahan penduduk.
Pemugaran makam Lamaddukkelleng yang menggunakan konstruksi atap tradisional Bugis tersebut, tampak menambah menawan kawasan pusat Kota Sengkang yang beberapa kali berturut dianugerahi penghargaan Piala Adipura untuk kategori Kota Kecil. Kota Sengkang sendiri dikenal dengan julukan sebagai Kota Sutera, lantaran wilayah di pesisir Danau Tempe inilah pusatnya pertenunan sarung sutera di Provinsi Sulawesi Selatan.
‘’Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara memberikan kita bantuan Rp 400 juta untuk melakukan pemugaran komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng yang didalamnya juga terdapat makam Raja Kutai Sultan Muhammad Idris,’’ jelas Bupati Wajo, Drs.H.Andi Burhanuddin Unru,MM dalam suatu kesempatan berbincang di Kota Sengkang.
Bupati yang merupakan putera dari Bupati Wajo pertama (1966- 1978) di Kabupaten Wajo, Kol (Purn TNI) H.Andi Unru, jika ditelisik silsilahnya juga merupakan cucu dari Lamaddukkelleng. Lantaran kakek dari kakeknya adalah Talebbe Ali Arung Ujung adalah Ranreng Tua yang pernah memerintah di Ujung Kalakka, Tosora.
Tak heran jika Medio 2011, pihak kesultanan Kutai Kertanegara secara khusus memberikan gelar panglima tertinggi ‘Tumenggung Kapitan Jaya’ kepada Bupati Wajo, H.Andi Burhanuddin Unru. Ritual pemberian gelar didahului dentuman meriam di Pendopo Kerajaan Kutai Kertanegara In Martadipura tersebut dilakukan langsung oleh pemangku kerajaan Kutai Sri Sultan H.Adji Mohammad Solehuddin 2.
Pemberian gelar tersebut dilakukan, setelah sebelumnya pihak Pemerintah Kukar melakukan kunjungan ke Kabupaten Wajo dan berziarah ke makam Sultan Adji Muhammad Idris di kompleks makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng. Diperoleh keyakinan yang kuat, sejak masa lalu ada hubungan kekeluargaan yang sangat erat masyarakat di Kabupaten Wajo dengan penduduk di wilayah Kutai Kertanegara.
13314694361889323944
Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, karya pelukis supranatural Drs.Bachtiar Hafid/Ft: Mahaji Noesa
Dalam riwayat perjuangan Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, sangat jelas paparan dengan bukti kesejarahan yang kuat bahwa anak dari pasangan Mata Esso Lamadettia Arung Peneki (ayah) dan We Tenri Ampa (ibu) ini kawin dengan seorang puteri bangsawan Kutai. Lamaddukkelleng diperkirakan sudah menjelajah di wilayah Pasir, Kutai tahun 1714.
Mungkin itulah sebabnya Lamaddukelleng yang pasukan armada lautnya sangat ditakuti pihak Belanda pada abad XVII di perairan Indonesia Timur, perairan Filipina dan Selat Malaka, juga dapat diangkat sebagai Sultan Pasir alias Arung Pasere. Memerintah selama sekitar 10 tahun (1726 – 1736), sebelum ia kembali menjadi Arung Wajo (Raja Wajo) di kampung halamannnya (kini wilayah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) dari tahun 1736 – 1740.
Sultan Adji Muhammad Idris yang memerintah sebagai Sultan Kutai tahun 1732 – 1739 merupakan anak mantu, lantaran mempersunting salah seorang anak, puteri dari Lamaddukkelleng.
Ketika mertuanya, Lamaddukkelleng terdesak oleh serangan Belanda saat menjadi Arung Wajo, Sultan Adji Muhammad Idris meninggalkan tahtanya di Kutai datang ke Wajo bersama pasukannya untuk membantu perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Diiperkirakan pada awal tahun 1739.
Belum ditemukan data yang pasti apa penyebab Sultan Adji Muhammad Idris wafat. Namun sejarawan Unhas, Prof.Dr.H.A.Zainal Abidin Farid (alm) dalam bukunya‘Kiat-kiat Kepahlawanan La Maddukkelleng Arung Matoa Wajo dalam Usaha Mengusir Orang-orang Belanda dari Makassar dalam peperangan melawan Belanda di Makassar’’ terbitan Pemkab Wajo (1994), memperkirakan Sultan terluka dalam suatu perang ketika dilakukan penyerangan terhadap Belanda di Makassar, lalu dibawa kembali ke Wajo, kemudian wafat serta dimakamkan di kampung halaman mertuanya.
Almarhum Sultan Adji Muhammad Idris yang kemudian tercatat dalam catatan lama di Sulawesi Selatan dengan gelar Darise Daenna Parasi Petta Kutai Petta Matinro ri Kawanne. Ada juga catatan yang menyebut Titian Aji dikaitkan dengan wafatnyaSultan Adji Muhammad Idris. Apakah nama itu merupakan sebutan lama yang menjadi lokasi tempat pemakaman yang kini menjadi komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng di Kota Sengkang atau lokasi dimana Sultan wafat ketika melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, masih dibutuhkan penelusuran data yang pasti.
Jika diperhatikan dari bentuk kelima makam yang ada di komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, maka boleh jadi makam Raja Kutai Sultan Adji Muhammad Idris yang pertama dikebumikan di lokasi tersebut. Tak hanya dilihat dari deretan makam Sultan yang letaknya paling utara, tapi juga dari bentuk makam yang terlihat dibuat lebih istimewa dari bentuk makam lainnya. Hal itu boleh terjadi, dengan asumsi, ketika Sultan Adji Muhammad Idris dimakamkan, sang mertua yang berkuasa sebagai Arung (Raja) Wajo, Lamaddukkelleng masih hidup.
Dalam seminar sejarah yang sudah dilakukan beberapa kali oleh Pemkab Kukar, termasuk pernah dilakukan di Kota Makassar menghadirkan narasumber sejumlah sejarawan nasional, disimpulkan perjuangan Sultan Kutai Sultan Adji Muhammad Idris sangat layak ditetapkan juga sebagai Pahlawan Nasional. Satu-satunya Sultan yang rela meninggalkan tahta kerajaan di Kutai untuk berjuang lintas daerah melawan kolonialis Belanda. Suatu sikap nasionalisme yang tinggi telah diperlihatkan Sultan Adji Muhammad Idris pada masanya. Sayangnya, usulan menjadikan Sultan Kutai ke-14 ini untuk menjadi Pahlawan Nasional belum juga tarsahuti oleh pemerintah pusat.
Mengenang perjuangan para raja-raja nusantara masa lalu, termasuk berkait dengan silsilahnya, menurut Bupati Wajo H.Andi Burhanuddin Unru bukan berarti kita akan kembali seperti jaman feodal atau jaman raja-raja dahulu.
‘’Tapi kita ingin kekuatan dan semangat persatuan nasional yang sudah diperlihatkan para leluhur masa lalu, dapat terus hidup menyemangati kondisi sekarang dalam membangun bangsa dan negara. Di Kabupaten Wajo khususnya, sejak dulu tidak dikenal pemimpin warisan. Karena itu dalam lambang daerah Kabupaten Wajo ada kutipan pesan leluhur yang dinyatakan dalam bahasa BugisMaradeka To WajoE Ade’na Napopuang – Orang-orang Wajo itu hidup merdeka hanya adat atau aturan yang disepakati yang dipertuan,’’ jelasnya.

Selasa, 07 April 2015

Asal Usul Bahasa Bugis

Asal Usul Bahasa Bugis




Art and Literature in South Sulawesi, Lontara, SouthsulawesiArticles.blogspot.com


Sebenarnya apa sih artinya bugis,terus kenapa bugis ini dijadikan kata juga lambang dari suku sulawesi selatan ?? kira-kira kenapa yah ?? mari kita bahas

Bugis sebenarnya merupakan suku dari Deutero melayu,atau melayu muda, masuk ke nusantara setelah gelombang migrasi pertama Asia tepatnya Yunan,kata bugis sendiri sebenarnya berasal dari kata To Ugi,yang berarti Orang bugis,penamaan Ugi sendiri merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (Bukan tiongkok melainkan tetapi yang terdapat di Jazirah Sulawesi Selatan tepatnya kecamatan Pemmana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpungi
Nah selanjutnya ketika rakyat Lasatumpungi menamakan dirinya,mereka merujuk pada raja mereka,mereka menjulukidiri mereka sebagai To Ugi atau pengikut raja Lasattumpungi,Lasattumpungi sendiri adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara lattu ayahanda dari saweri gading



 Sedangkan Saweri gading sendiri adalah isteri dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo,dia yang membuat lebih dari 9000 halam folio karya sastra namanya pun sampai kini sangat tenar di sulawesi bahkan dijadikan nama untuksebuah museum.
Dalam perkembangan selanjutnya komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain dan kemudian membentuk aksara,bahasa dan pemerintahan mereka sendiri,beberapa kerajaan klasik yang terkenal adalah Luwu,Bone,Wajo,Soppeng,Suppa dan Sawitto (Pinrang),Sidrap (sidenreng dan Rappang),meski tersebar dan membentuk etnik bugis tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar dan sampai saat ini orang bugis tersebar di beberapa kabupaten antara lain Luwu,Bone,Wajo,Soppeng,Sidrap,Sinjai,Pinrang barru. Sedangkan daereha peralihan bugis dan makassar antara lain Bulukumba,Sinjai,maros,Pangkajene dan Kepulauan, Daerah peraliahan Bugis dan Mandar antara lain kabupaten Polmas dan Pinrang.

Dan karena masyarakat bugis tersebar di beberapa dataran rendah yang subur dan pesisir,maka kebanyakan dari masyarakat bugis hidup sebagai petani dan nelayan,mata pencaharian lain masyarakat bugis adalah pedagang,masyarakat bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan,konflik bugis dengan makassar apada abad 16,17,18,19 menyebabkan tidak tenangnya daerah bugis sulawesi selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang-orang bugis yang bermigrasi terutama didaerah pesisir dinusantara bahkan sampai ke malaysia,filipina,thailand. 

Asal usul orang bugis hingga saat ini masih belum jelas. Hal ini disebabkan oleh kurangya bukti otentik baik berupa prasasti atau dokumen-dokumen sejarah yang dapat mendukung penelusuran sejarah orang Bugis. Sumber tertulis setempat yang dapat diandalkan hanya berisi informasi abad ke 15 dan sesudahnya.

Art in South Sulawesi, Southsulawesiarticles.blogspot.com
Pinisi
Akan tetapi, Orang Bugis zaman dahulu, menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006)

Menurut riwayat kuno bahwa to manurung pertama yang menginjakkan kakinya di dataran Sulawesi adalah Tamboro Langi’. Dia berdiri di puncak Gunung Latimojong. Ketika itu, daerah sulawesi tergenang air dan hanya puncak Gunung Latimojong bagian selatan dan bagian tengah yang masih kering. Tamboro Langi kemudian menikah dengan  Tande Bili, seorang dewi yang muncul dari sungai Saddang. Mereka memiliki putra yang bernama Sandaboro yang selanjutnya melahirkan La Kipadada. La Kipadada inilah yang membangun tiga kerajaan besar yaitu, Rongkong (asal mula kerjaan Toraja), Luwu (asal mula kerjaan bugis) dan Gowa (asal mula kerjaan Makassar).





Mengenal Arti Nama Wajo

  1. A.   Arti Nama Wajo
  2. .Wajo menurut orang bugis diartikan sebagai bayangan atau bayang-bayang    ( wajo-wajo ).Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas masyarakat 605 tahun yang lalu yang menunjukkan kawasan merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan besar pada saat itu.

  3. B.     Kaitan Antara pohon bajo dan nama daerah Wajo
  4. Pada saat  itu tidak jauh dari daerah Boli, terdapat pohon besar raksasa yang bernama pohon bajo. Akhirnya penduduk daerah Boli lalu berbondong-bondong menuju pohon bajo untuk mencari tempat perlindungan atau tempat berteduh dari panas. Cara penduduk   daerah Boli agar terhindar dari panas matahari yaitu dengan cara mengambil daun pohon bajo yang amat besar. Menurut pendapat seorang ahli sejarah, satu daun dari pohon bajo dapat melindungi tujuh orang penduduk dari panas pada saat itu. Akhirnya , semua penduduk pada saat itu  lalu menyetujui mengganti nama daerah yang  dulunya daerah Boli menjadi daerah Wajo. Wajo sendiri diartikan sebagai tempat perlindungan.Dalam bahasa bugis yaitu wajo-wajo (bayang-bayang) atau bayangan. Karena pohon bajo dapat menyelamatkan nyawa banyak penduduk dari panas  dengan daun yang besar. Pergantian nama daerah menjadi daerah Wajo akhirnya disahkan di daerah Tosora oleh La Tenribali( batara wajo pertama) dan 3 orang Paddanreng yaitu La Tenritau, La Tenripekka , dan La Matareng.Tidak lama kemudian, terbentuklah  lambang dan semboyang daerah Wajo yang tidak akan pernah tergantikan.

  5. C. Makna dari Lambang Daerah Wajo
  6. Makna dari lambang daerah Wajo yaitu ditengah lambang tersebut berdiri sebuah pohon yang mempunyai 3 akar tunggang, maknanya ialahbentuk asal daerah kabupaten Wajoyang terdiri dari 3 limpo yaitu Majauleng(bentengpola), Sabbangparu(Talotenreng) , dan Takkalalla(Tua). Di antara akarnya bertuliskan huruf lonarak bajo, maknanya ialah asal mula perkataan wajo.Disamping kiri kanan diapit gambar padi dan jagung berserta gambar ikan dan kerang,maknanya ialah kemakmuran yang pokok didaerah Wajo.Bentuk lambangnya seperti perisai , maknanya kesiap siagaan menghdapi setipa kemungkinan yang mengancam masyarakat Wajo.Letter W berbentuk ornament (hiasan), maknanya ialah melambangkan seni ukir ( kesenian yang berkembang didaerah Wajo.Warna merah dan kuning yang ada pada lambang daerah wajo,maknanya ialah merah bermakna berani karena benar dan kuning bermakna indah dan mulia.Kedua warna tersebut adalah warna simbolis bagi jiwa masyarakat Wajo.Bidang lambing yang berwarna putih yang diapit merah mencerminkan kepribadian masyarakat/rakyat Wajo ialah keberaniannya yang di sandarkan pada kesucian.
  7. D. Arti Semboyang Wajo
  8. Sebuah pita emas melintang sebagai pengikat dari lambang tersebut yang bertuliskan “Maradeka To Wajoe Ade’na Napopuang” yang berarti rakyat Wajo merdeka adatlah yang dipertuankan

Arti Lambang Kab. Wajo

ARTI LAMBANG KABUPATEN WAJO





I . POHON BAJO
a.      Bertangkai/cabang tiga ialah bentuk asal daerah kabupaten Wajo yang terdiri dari tiga (3) Limpo :
1.Majauleng ( Benteng Pola )
2. Sabbangparu ( Talotenreng )
3. Takkalalla ( Tua )
                   b.   Batang lurus adalah bercita-cita tinggi penuh kejujuran.
                     c.   Daun sebanyak 30 lembar dan berwarna hijau melambangkan Dewan Rakyat    
                           Wajo ( ketika terciptanya Republik Wajo pada Abad XIV ) dan cita – cita kemak –
                           muran negeri.
                     d.  Pada akar Pohon tertulis aksara bugis menyatakan asal perkataan Wajo.

II. PITA
Pada pita terbentang terdapat salah satu dari pandangan hidup masyarakat / rakyat Wajo “ MARADEKA TOWAJOE ADENA NAPOPUANG “ artinya rakyat Wajo merdeka konstitusinya yang dipertuan dengan warna hijau yang diartikan makmur/subur.

III. PADI, JAGUNG, IKAN, GULA
Kesemuanya melambangkan kemakmuran yang pokok di daerah Wajo
IV. LETTER W
Letter W yang berbentuk ornament ( hiasan ) melambangkan seni Ukir ( kesenian yang berkembang didaerah wajo )

V. WARNA KUNING DAN MERAH
- Merah berani karena benar
- Kuning indah dan mulia
- Kedua warna tersebut adalah warna simbolis bagi jiwa masyarakat Wajo.

VI. WARNA DASAR
Bidang lambing yang berwarna putih yang diapit merah mencerminkan kepribadian masyarakat/rakyat wajo ialah keberanianyang disandarkan pada kesucian.

VII. BENTUK LAMBANG
Bentuk perisai Tameng artinya kesiap siagaan menghadapi setiap kemungkinan yang mengancam masyarakat Wajo.

Mengenal Lebih Dekat Bugis Wajo

A. JATI DIRI ORANG BUGIS WAJO


      

         Dimana ada peluang bisnis, disanalah saudara dapat berjumpa orang Wajo. Perumpamaan itu menunjukkan bahwa betapa orang bugis memiliki sifat kewirausahaan yang tinggi, yang telah mendarah daging pada setiap pribadi Wajo. Tellu Ampikalena To Wajoe (tiga prinsip hidup orang Wajo) yaitu tau’E ri Dewata’E, Siri’E ri padatta rupatau, Siri’E ri watakkale (ketaqwaan pada allah s.w.t. rasa malu pada orang lain dan pada diri sendiri). Tiga prinsip hidup inilah yang membuat orang Wajo memiliki etos kerja yaitu resopa natinulu natemmangingi,nalomona nalettei pammase deawata Seuwae (hanya dengan kerja keras, rajin dan ulet, kita mendapat keridhaan Allah Swt). Selain itu hal ini dilatar belakangi oleh keinginan orang wajo untuk merdeka dan sebagai tanda protes kepada raja yang memerintah secara tidak adil dan mereka tidak mungkin melakukan perlawanan fisik, maka bentuk perlawanannya ialah meninggalkan negerinya. Bilamana Batara Wajo atau Arung Matoa Wajo tidak menegakkan citra abstraksi konstitusi Kerajaan Wajo yang tersirat dalam ucapan “Maradeka To-Wajo’e Ade’ Emmi napopuang” (Rakyat Wajo merdeka, hukum yang dipertuan) maka ketika itulah rakyat mengingatkan pada Bataraperihal “Perjanjian Cinnotabi” yang substansial meletakkan dasar tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan “Republik Wajo”. Yang kita tahu, setelah kekalahan Kerajaan Wajo dari Kerajaan Bone yang bersekutu dengan Belanda, masyarakat Wajo didera kemiskinan. Itulah sebabnya mereka meninggalkan negerinya untuk mencari lapangan kehidupan yang lebih baik. Untuk mereka ini, sadar atau tidak, mereka berpedoman pada makna dari untaian kata-kata “lebbimui mate maddarae dari mate tammanre”, artinya adalah “ lebih berharga mati berdarah daripada mati kelaparan”. Apalagi orang Bugis itu pantang terhadap apa yang disebut “berpangku tangan”, mereka selalu berpegang pada ungkapan: “Resopa temmangngingi, malomo naletei pammase Dewata” (hanyalah usaha yang tidak kenal lelah dan putus asa, memungkinkan dianugrahi berkah Dewata).
        Satu lagi mengenai orang bugisWajo, yaitu siri'Siri' dalam Bahasa Indonesia dapat berati rasa malu atau lebih tepatnya lagi harkat martabat. Assosoreng iyya mparekkenggi sirina assilomperengna artinya keturunan yang diajarkan bagaimana mempertahankan kehormatan keluarga. assosoreng iyya sitinasai passilennereng siri'na padanna rupa tau, kuetopa paimengartinya keturunan yang diajarkan menjaga martabat orang lain dan dirinya sendiri. Dan masih banyak lagi peribahasa peribahasa orang bugis yang menggambarkan betapa orang bugis itu, khususnya di Wajo sangat menjaga yang namanya siri'. Jika orang bugis sudah merasa dipermalukan, dihina, maka ia rela melakukan tindakan apapun demi memperbaiki kehormatan dirinya dan keluarganya. Inilah salah satu yang membedakan suku bugis dengan suku lainnya di Indonesia, khususnya bagian Timur. Saya mengambil contoh kecil dalam masyarakat, anak muda wajo akan merasa masiri'  kalo tidak memakai pakaian yang bermerek, mereka akan malu jika tidak pakai celana merek Levi's atau Boss (contoh broth), dibandingkan suku di Papua yang sudah merasa cukup dengan koteka saja.

kerajaan wajo

          A. SEJARAH KERAJAAN WAJO
             Wajo adalah suatu kerajaan yang muncul sekitar ke- 14 M., sebelum itu Wajo masih merupakan perkampungan-perkampungan kecil yang dipimpin oleh seorang kepala kampung yang disebut Matoa. Pada suatu ketika datang seorang laki-laki yang bernama La Matatikka, adalah seorang To Manurung yang berasal dari Luwu ke Sajoangin, salah satu perkampungan yang agak ramai pada waktu itu. La Matatikka kawin dengan I Guna putra Matoa Sajoangin. Tidak lama kemudian Matoa-matoa kampung yang berdekatan dengan Sajoangin datang ke La Matatikka untuk meminta kesediaannya menjadi Arung atas rakyat mereka. Oleh karena La Matatikka menyatakan kesediaan menjadi Arung atas mereka, maka sepakatlah mereka mengangkat La Matatikka sebagai Arung Matoa. “pengangkatan La Matatikka sebagai Arung Matoa dilaksanakan di bawah pohon Bajo maka dinamakanlah kerajaan itu, kerajaan Wajo”.
Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo, bahasa Bugis, artinya pohon bajo) diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat yang sepakat membentuk Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo.
Ada versi lain tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah We Tadampali, seorang putri dari Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit kusta. Beliau dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian disebut Majauleng, berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli' (kulit). Konon kabarnya beliau dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal sebagai Sakkoli (sakke'=pulih; oli=kulit) sehingga beliau sembuh.
Saat beliau sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru, hingga suatu saat datang seorang pangeran dari Bone (ada juga yang mengatakan Soppeng) yang beristirahat di dekat perkampungan We Tadampali. Singkat kata mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja Wajo. Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni, tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak rakyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah :
Kerajaan
Republik 
Federasi yang belum ada duanya pada masa itu
         B. PENINGGALAN-PENINGGALAN KERAJAAN WAJO
1.    Messid Tello,e dan Makam Assyiekh Al-Habib Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein
Mesjid kuno tosora merupakan mesjid yang dibangun sekitar tahun 1621 oleh Syeckh Jamaluddin Akbar Husain yang diduga oleh penduduk setempat punya hubungan darah dengan Nabi Muhammad S.A.W
Salah satu peninggalan sejarah dari puluhan peninggalan sejarah  lainnya dikabupaten wajo yang yang masuk dalam cagar budaya menjadi sejarah nasional adalah mesjid kuno yang berada didesa Tosora Kecamatan Majauleng.
Tosora adalah daerah bekas ibu kota Kabupaten Wajo pada abad 17 dan wilayah ini dikelilingi oleh 8 danau kecil didaerah ini pula terdapat berbagai peninggalan sejarah mulai dari makam raja-raja wajo sampai dengan gudang bekas penyimpangan amunisi kerajaan.
Konon, mesjid yang memiliki arsitektur berlanggam indonesia asli itu memiliki denah dasar bujur sangkar tanpa serambi. Kemiripan bangunan mesjid ini merupakan dapat ditemukan pada daerah bekas ibu kota kerajaan islam seperti Palopo, Gowa, Buton, Banten, Jawa, Sumatra, dan Ternate.
Bangunan Dinding mesjid ini dibuat dari susunan batu-batu sedimen tidak sama dan menggunakan perekat semacam kapur  yang dicampur putih telur dan lokasi ini sering dijadikan sebagai lokasi wisata sejarah.
Sementara, Dinding dari mesjid ini mengunakan batu sedimen yang hingga kini belum diketahui tingginya. Atas prakarsa Salewatang Haji Andi Mallanti, telah dibangun dilokasi mesjid kolam untuk air wudhu. Dengan kedalaman 94 samapi 99 centimeter, kolam air Wudhu ini dibangun pada priode belakangan.
Kepada penulis, pesiarah  mengatakan bahwa mesjid ini sangat membutuhkan perhatian khusus karena ini merupakan cagar budaya peninggalan sejarah dimana Tosora sebelumnya adalah pusat ibu kota pada masa penjajahan dan sebelum adanya pemerintah kabupaten, Tosora menjadi pusat kerajaan pada masa batara dan arung matowa.
Lebih lanjut dirinya menceritakan proses pembuatan mesjid tua sesuai ceritra rakyat pada masa dulu dimana katanya mesjid tua itu menggunankan campuran putih telur sebagai bahan perekat dan pada masa itu sekitar dua tahun penduduk tidak bisa kembangkan ternak karena telur ayamnya disumbangkan untuk pembuatan mesjid.
“Dulu sesuai cerita rakyat antara tosora ke paria rumah berjejer rapi dan ketika hujan orang tua kita dahulu bisa sampai kesekolahnya diparia sekitar puluhan kilo tanpa diguyur hujan meski hanya jalan kaki pada tahun 1985 ada ada peneliti yang ingin mengetahui kebenarannya puin demi puin diuji samapi dua bulan baru mereka mendapatkan hasil kebenaran bahan bangunan mesjid,” Jelasnya
Terkait dengan keberadaan cagar budaya itu, dirinya berharap pemerintah bisa memberikan dana pemeliharaan karena mesjid yang dibangun pada tahun 1621 itu sudah mulai memudar sehingga butuh perawatan setidaknya diberikan atap sementara dinding mimbar sudah ditumbuhi pepohonan kalau dicabut dikwatirkan akan merusak keaslian bangunannya.
“Selain itu mesjid ini terkadang masih digunakan oleh pendatag khususnya mereka yang datang dari pulau jawa untuk menggelar pengajian sehingga kami juga harapkan ada perbaikan setidaknya bisa diberikan lantai karena ketika pengunjung dari jawa ini menggelar pengajian, mereka menggunakan alas seadanya,” Pintanya
Selain itu katanya, jika diberikan lantai maka bisa digunakan sebagai tempat pengajian bagi pemuka agama.”ini dimaksud untuk mengenang pada pendahulu kita apalagi akan sangat bermamfaat jika dijadikan sebagai pusat perayaan acara keagamaan,”




Sejarah mesjid kuno tosora terdapat beberapa makam kuno yang disebut dalam silsila salah satu diantaranya ada makam cucu Nabi Muhammad yang ke 19.
Salah satu diantaranya adalah makam penghulu para Wali. Dengan mengunakan nisan setengah bulat, makam setengah bulat ini adalah makam Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang juga penggagas mesjid kuno tosora itu.
Sementara sesuai dengan keterangan yang didapatkan penulis mengatakan bahwa dalam silsilanya, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain masih merupakan keturunan Nabi Muhammad yang ke 19.
Sementara makam kuno lainnya adalah Makam Arung Benteng Lagau dengan mengunakan nisan tipe merian. Arung Benteng Lagau adalah salah seorang mantan ketua majelis dan makam ini ditandai dengan dua buah nisan merian.
Disamping ada makam Arung Benteng Lagau, ada nisan tipe pion. Tipe makam ini menyerupai dengan bantuk pion yang terdiri atas tiga bagian yakni dasar,badan dan kepala.
Sesuai dengan sejarah, bahwa para pengunjung khususnya dari Jawa menggaku jika setelah dirinya melakukan siarah ke beberapa makam itu, reskinya bertambah dan siarah ke makam itu bagi sebagian orang seakan dijadikan sebagai rutinitas khusunya pengunjung dari pulau Jawa.
Kepada penulis, Alan salah seorang masyarakat desa tosora menuturkan bahwa pada tiap tahunnya banyak pengurus pesantren dari pulau jawa yang berkunjung kemakam ini karena mereka yakini kalau Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang dimakamkan di lokasi mesjid ini adalah bagian dari keluarga mereka.
Menurutnya, kata Alan Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain adalah penghulu para wali dipulau jawa termasuk Almarhum Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain berumur lebih tua dari wali songo.
Dan bahkan pengunjung yang datang kemakam ini papar Alan, adalah pengunjung dari berbagai daerah diluar pulau sulawesi dan meyakini kalau dirinya adalah keturunan dari Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain.
“Bahkan menurut keterangan yang kami dapatkan ketika ada pengunjung datang dari jawa, sebelum keindonesia, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain perna berada di india dan membantu penduduk india pada suatu peran untuk memenangkan pasukan islam dan pada ujung perang, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain menghilang tanpa jejak,” Jelasnya
Pantauan penulis saat menelusuri halaman makam, memerlukan perhatian khusus dari pemerintah terkait pemeliharaan baik pagar maupun beberapa arsitektur lain yang kini tergolong mempertihatinkan termasuk pagar yang saat ini terlihat mulai rapuh.
Selain itu, beberapa arsitektur lainnya yang ada didalam kawasan mesjid Tua Tosora juga memerlukan perhatian utamanya anggaran pemeliharaan agar mendapatkan kesan kalau cagar budaya yang bisa dijadikan sebagai wisata sejara itu masih terawat.


1.    Sumur Jodoh
Sumur jodoh adalah sumur yang dipercaya apabila kita mandi atau membasuh muka dengan air dari sumur itu maka cepat atau lambat akan mendapatkan jodoh. Namun, menurut salah satu warga disana mengatakan bahwa sebagian warga di tosora tidak atau kurang mempercayai sumur jodoh ini, hanya orang yang dari luar pulau terutama orang dari pulau Jawa saja yang banyak datang ke sumur jodoh ini dan meminta untuk mendapatkan jodoh.
2.    Geddong’e
eddongnge (Gedug Mesiu). Timbul beberapa pendapat tentang nama Geddongnge. Ada yang mengatakan bahwa Geddongnge adalah sebuah bangunan tempat menyimpan barang-barang seperti alat-alat perang dan hasil bumi penduduk. Sebagian lagi mengatakan bahwa bangunan tersbut adalah bank(tempat menyimpang uang).Geddongnge dibangun pada saman pemerintahan Lasalewangeng To Tenriruwa sekitar tahun 1718 M. Pada saat itu perekonomian lancar dan awal dicetuskannya pasukan bersenjata. Bahan baku bangunannya masih berasal dari batu gunung, pasir, dan telur.
3.    Benteng
Benteng pertahanan yang dibuat pada masa pemeeintahan, Awal pelaksanaanya setelah diadakan musyawarahantara arung matoa latentilai’ dengan penduduk negeri mengenai rencena penyerangan belanda terhadap tosora. Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi tellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani Perjanjian Bungayya.Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah pimpinan Arung Palakka
4.    Mushallah Tua Menge
Mushollah Tua Menge dibangun sekitar tahun 1621 M. Setelah selesai mesjid Tua Tosora dibangun. Perjalanan sejarah Islam sejak masuknya hingga sekarang cukup banyak mencatat kenangan yang tak mudah dilupakan. Dalam sejarah masuknya Islam di Wajo sekitar tahin1610 M. Agama islam berkembang terus sampai sekarang. Mushollah Tua yang dibangun pada tahun yang sama masa pembangunan mesjidnya Tua Tosora tercatat ada tujuh buah dengan bahan baku yang sama yaitu batu gunung, pasir, dan telur.
Besarnya animo masyarakat menerima agama Islam tanpa mengalami hambatan. Mereka menerima kebenaran Islam sesungguhnya. Bangunan Mushollah selalu dimanfaatkan setiap waktu sholat, mereka berjamaah bersama.
Mushollah Tua Menge ukuran bangunannya lebih kecil dari ukuran bangunan Mesjid Tua. Fisik bangunan Mushollah Tua ini hanya berukuran 10m x 9,5m. Jarak antara Mesjid Tua dengan Mushollah kurang lebih 100m dari arah Timur.
5.    Makam Lasalewangeng Tenriruwa
makam Lasalewangeng Tenriruwa beliau merupakan arung matoa Wajo ke 30. Beliau pernah menjadi raja di Limpo atau Negeri Kampiri (arung Kampiri). Lasalewangeng memperkuat persenjataan Wajo dan memprsiapkan peperangan terhadap Bone dan Belanda kira-kira tahun 1715 sampai 1736.




6.    Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung
Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung. Disebut dalam lontara bahwa Lataddampare’ Puangrimaggalatung adalah seorang ahli pikir dijamannya, dia juga seorang Negarawan, ahli strategi perang, ahli dibidang pertanian dan ahli hukum.kejujurannya mejalankan pemerintahan terkenal baik di dalam maupun di luar negeri. Beliau adalah arung matoa wajo ke 4 yang berhasil menjadikan wajo sebagai sebuah kerajaan yang besar dan makmur kira-kira tahun 1498 sampai 1528.
7.    La Tenrilai’ Tosengngeng
La Tenrilai’ Tosengngeng adalah Arung Matowa Wajo ke-23. Ia diangkat menjadi Arung Matowa setelah menggantikan Arung Matowa La Paremma Torewa Matinroe ri Passiringna kira-kira tahun 1651-1658.
La Tenrilai’ Tosengngeng memegang tampuk pemerintahan dari tahun 1658-1670. Beliaulah yang mendirikan Tosora menjadi Ibukota Kerajaan Wajo yaitu antara tahun1660-1670.
Peristiwa yang sangat penting semasa pemerintahan La Tenrilai Tosengngeng adalah peperangan yang timbul antara Gowa bersama sekutu-sekutunya disatu pihak dengan Bone bersama Belanda di lain pihak.
Penyebab kematian Arung Matowa La Tenrilai’ Tossengngeng karena kecelakaan, yaitu ketika beliau membakar sumbu meriamnya untuk ditembakkan kepada lawan, beliau lupa menutup tempat mesiunya, sehingga alat tersebut meledak dan mengena beliau, akhirnya tewas seketika.
Ada beberapa pendapat mengenai istilah wafatnya Arung Matowa La Tenrilai’ Tosengngeng. Ada yang mengatakan Arung Palaiyyengi Musu’na (Raja yang meninggalkan peperangannya) ada juga menggelarnya Djammenga ri alo-laona (yang mati di tempat mesiunya).
Setelah Arung Matowa La Tenrilai’ Tosengngeng wafat beliau digantikan oleh La Palili Tomalu Puangna Gella, saudara dari Ranreng Bettengpola
Makam Besse Idalatikka, seorang gadis cantik yang sangat To Palettei, beliau meneruskan perjuangan melawan Bone dan Belanda.
8.    Makam Besse Idalatikka
ramah dan sopan. Konon dia merupakan gadis tercantik di Kerajaan Wajo pada zamannya. Menurut cerita makam besse idalatikka dibuat dengan memakai kayu di impor dari Malaysia dan diukir di Kalimantan. Selain itu Makam Besse Idalatikka memang sudah di pesan sebelum 2 bulan kematiannya.
9.         Saoraja Mallangga






WAJO merupakan salah satu daerah yang pernah dipimpinan oleh kerajaan. Berbagai tradisi kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini, salah satunya adalah pencucian benda pusakapeninggalan kerajaan.
Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau rumah raja (istana). Salah satu Saoraja yang dijadikan museum d kabupaten berjuluk Bumi Lamaddukelleng ini, yakni Saoraja Mallangga museum simettengpola.
Keberadaan Saoraja ini menjadi bukti sejarah kerajaan Wajo. Tidak sulit untuk menemukan museum ini. Terletak di Jl Ahmad Yani Kota Sengkang Kabupaten Wajo.
Arsitektur Saoraja Malangga cukup unik, bangunan berlantai dua ini merupakan perpaduan bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung dengan bangunan khas Belanda.
Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930, pada era kerajaan Ranreng Bettengpola ke-26, Datu Makkaraka yang juga dikenal sebagai ahli lontara.
Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusul menjadi museum pada tahun 1993, dan diresmikan oleh Gubernur Sulsel, HM Amin Syam sebagai museum pada tahun 2004.
Keunikan arsitektur bangunan ini menjadi daya tarik bagi pengunjung, terutama bagi para pendatang yang baru berkunjung ke kota santri.
Ketika FAJAR bertandang ke Museum ini, tanpak pekarangan museum ini cukup asri dan bersih, dengan balutan cat berwarna coklat, saoraja ini menggunakan lantai dan dinding yang terbuat dari pilihan.
Staf Bidang Kebudayaan Disporabudpar Kabupaten Wajo, Aldi M.P Badja mengatakan dalam bukunya Wajo dalam perspektif arsitektur, bentuk Saoraja di Kabupaten Wajo umumnya tidak seperti bangunan Saoraja yang ada di daerah lain. Bangunan ini kata dia memiliki filosofi yang menggambarkan kedekatan seorang raja dengan rakyatnya.
Hal itu katanya dibuktikan dengan tidak diperkenankannya ada pagar pembatas bangunan ini, tidak boleh menampilkan kemegahan atau terlalu besar, dan tidak boleh tinggi serta pintu harus selalu terbuka lebar.
"Maknanya, rumah raja ini selalu terbuka untuk siapa saja.
Bentuk bangunannya pun secara umum masih dipertahankan seperti pada awal didirikannya, hanya bagian atapnya yang telah 7 kali diganti," ujarnya.
Saat ini, Saoraja tersebut di huni oleh salah seorang putra Datu Makkaraka, yakni H Datu Sangkuru,79 yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27 bersama beberapa orang anaknya.
Salah seorang putri Datu Sangkuru yang juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi Cidda Minasa mengatakan, alasan awal Saoraja ini dijadikan museum karena khawatir peninggalan sejarah arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan museum untuk melestarikan barang-barang peninggalan kerajaan terdahulu.
Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk pagelaran seni tradisional Wajo, seperti Massure yaitu seni yang bercerita dalam bahasa bugis lontara dan diiringi musik tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di museum ini, seperti peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik antik, Serta berbagai jenis keris dan tombak.

10.     Makam La Maddukkelleng
 La Maddukkelleng adalah putera dari arung peneki La Mataesso To’ Ma’dettia dan We Tenriangka Arung Singkang, saudara Arung Matowa La salewengeng To Tenrirua.Komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukelleng yang terletak sekitar 200-an meter arah selatan Lapangan Merdeka di Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sekaligus merupakan lokasi pusara Raja Kutai Kertanegara Ing Martadipura Ke-14, Sultan Adji Muhammad Idris.Di dalam komplek makam yang baru saja mengalami pemugaran atas bantuan Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur tersebut, keseluruhan terdapat lima makam selain makam Arung Siengkang Lamaddukkelleng yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No.109/TK/1998 tanggal 6 Nopember 1998.
Bentuk nisan kelima makam tersebut berbeda satu dengan lainnya. Nisan Lamaddukelleng yang wafat tahun 1765 hanya berupa bongkahan batu yang digeletakkan di atas makam. Sedangkan makam Sultan Adji Muhammad Idris yang berdinding batu ditinggikan, nisannya menyerupai kelopak daun berukir.
Makam La Tombong To Massekutta yang diperkirakan wafat tahun 1762, salah seorang putera Lamaddukkelleng, batu nisannya dibentuk menyerupai hulu keris (badik) berukir. Nisan dua makam lainnya yang juga tebuat dari batu alam, satu berbentuk perisai, dan satunya segi empat.
Dari Komplek Makam Lamaddukkelleng yang telah berlantai marmer ini kita dapat memandang vieuw indah pusat Kota Sengkang dengan Masjid Agung Ummul Qura yang menaranya dibangun berada di areal Lapangan Merdeka, dipisah jalur jalan poros menuju ke arah Kabupaten Soppeng.
Berada persis di tepi jalur utama Kota Sengkang, sepanjang waktu lingkungan komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng tak pernah sepi. Apalagi hanya sekitar 25 meter di seberang jalan, terletak sejumlah kantor dinas dalam lingkup Pemkab Wajo. Sedangkan di bagian belakang serta sisi kiri-kanan komplek diapit bangunan perkantoran dan perumahan penduduk.
Pemugaran makam Lamaddukkelleng yang menggunakan konstruksi atap tradisional Bugis tersebut, tampak menambah menawan kawasan pusat Kota Sengkang yang beberapa kali berturut dianugerahi penghargaan Piala Adipura untuk kategori Kota Kecil. Kota Sengkang sendiri dikenal dengan julukan sebagai Kota Sutera, lantaran wilayah di pesisir Danau Tempe inilah pusatnya pertenunan sarung sutera di Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam riwayat perjuangan Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, sangat jelas paparan dengan bukti kesejarahan yang kuat bahwa anak dari pasangan Mata Esso Lamadettia Arung Peneki (ayah) dan We Tenri Ampa (ibu) ini kawin dengan seorang puteri bangsawan Kutai. Lamaddukkelleng diperkirakan sudah menjelajah di wilayah Pasir, Kutai tahun 1714.
Mungkin itulah sebabnya Lamaddukelleng yang pasukan armada lautnya sangat ditakuti pihak Belanda pada abad XVII di perairan Indonesia Timur, perairan Filipina dan Selat Malaka, juga dapat diangkat sebagai Sultan Pasir alias Arung Pasere. Memerintah selama sekitar 10 tahun (1726 – 1736), sebelum ia kembali menjadi Arung Wajo (Raja Wajo) di kampung halamannnya (kini wilayah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) dari tahun 1736 – 1740.
Sultan Adji Muhammad Idris yang memerintah sebagai Sultan Kutai tahun 1732 – 1739 merupakan anak mantu, lantaran mempersunting salah seorang anak, puteri dari Lamaddukkelleng.
Ketika mertuanya, Lamaddukkelleng terdesak oleh serangan Belanda saat menjadi Arung Wajo, Sultan Adji Muhammad Idris meninggalkan tahtanya di Kutai datang ke Wajo bersama pasukannya untuk membantu perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Diiperkirakan pada awal tahun 1739.
Belum ditemukan data yang pasti apa penyebab Sultan Adji Muhammad Idris wafat. Namun sejarawan Unhas, Prof.Dr.H.A.Zainal Abidin Farid (alm) dalam bukunya ‘Kiat-kiat Kepahlawanan La Maddukkelleng Arung Matoa Wajo dalam Usaha Mengusir Orang-orang Belanda dari Makassar dalam peperangan melawan Belanda di Makassar’’ terbitan Pemkab Wajo (1994), memperkirakan Sultan terluka dalam suatu perang ketika dilakukan penyerangan terhadap Belanda di Makassar, lalu dibawa kembali ke Wajo, kemudian wafat serta dimakamkan di kampung halaman mertuanya.
Almarhum Sultan Adji Muhammad Idris yang kemudian tercatat dalam catatan lama di Sulawesi Selatan dengan gelar Darise Daenna Parasi Petta Kutai Petta Matinro ri Kawanne. Ada juga catatan yang menyebut Titian Aji dikaitkan dengan wafatnya Sultan Adji Muhammad Idris. Apakah nama itu merupakan sebutan lama yang menjadi lokasi tempat pemakaman yang kini menjadi komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng di Kota Sengkang atau lokasi dimana Sultan wafat ketika melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, masih dibutuhkan penelusuran data yang pasti.
Jika diperhatikan dari bentuk kelima makam yang ada di komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, maka boleh jadi makam Raja Kutai Sultan Adji Muhammad Idris yang pertama dikebumikan di lokasi tersebut. Tak hanya dilihat dari deretan makam Sultan yang letaknya paling utara, tapi juga dari bentuk makam yang terlihat dibuat lebih istimewa dari bentuk makam lainnya. Hal itu boleh terjadi, dengan asumsi, ketika Sultan Adji Muhammad Idris dimakamkan, sang mertua yang berkuasa sebagai Arung (Raja) Wajo, Lamaddukkelleng masih hidup.
11.     Goa Nippon
Keberadaan Goa Nippon merupakan bukti sejarah peninggalan tentara Jepang pada perang dunia II, ada goa yang berbentuk huruf “L, I, U” dan lainnya. Bagi pengunjung yang ingin berimajinasi dan bernostalgia untuk mengenang masa lampau. Di lokasi terdapat berbagai benda khas peninggalan zaman Jepang. Dipandu oleh petugas yang akan menjelaskan goa sejarah ini sehingga pengunjung memiliki pengalaman dan pengetahuan baru tentang zaman pendudukan Jepang di Kabupaten Wajo.