A. SEJARAH KERAJAAN WAJO
Wajo adalah suatu kerajaan yang muncul
sekitar ke- 14 M., sebelum itu Wajo masih merupakan perkampungan-perkampungan
kecil yang dipimpin oleh seorang kepala kampung yang disebut Matoa. Pada suatu
ketika datang seorang laki-laki yang bernama La Matatikka, adalah seorang To
Manurung yang berasal dari Luwu ke Sajoangin, salah satu perkampungan yang agak
ramai pada waktu itu. La Matatikka kawin dengan I Guna putra Matoa Sajoangin.
Tidak lama kemudian Matoa-matoa kampung yang berdekatan dengan Sajoangin datang
ke La Matatikka untuk meminta kesediaannya menjadi Arung atas rakyat mereka.
Oleh karena La Matatikka menyatakan kesediaan menjadi Arung atas mereka, maka
sepakatlah mereka mengangkat La Matatikka sebagai Arung Matoa. “pengangkatan La
Matatikka sebagai Arung Matoa dilaksanakan di bawah pohon Bajo maka
dinamakanlah kerajaan itu, kerajaan Wajo”.
Wajo
berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Di bawah bayang-bayang
(wajo-wajo, bahasa Bugis, artinya pohon bajo) diadakan kontrak sosial
antara rakyat dan pemimpin adat yang sepakat membentuk Kerajaan Wajo.
Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora yang
kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo.
Ada
versi lain tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah We Tadampali, seorang
putri dari Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit
kusta.
Beliau dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian
disebut Majauleng, berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli' (kulit).
Konon kabarnya beliau dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian
dikenal sebagai Sakkoli (sakke'=pulih; oli=kulit) sehingga beliau
sembuh.
Saat
beliau sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat
baru, hingga suatu saat datang seorang pangeran dari Bone
(ada juga yang mengatakan Soppeng) yang beristirahat di dekat
perkampungan We Tadampali. Singkat kata mereka kemudian menikah dan
menurunkan raja-raja Wajo. Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak
mengenal sistem to manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni,
tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu,
termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan
jaminan terhadap hak-hak rakyatnya. Adapun konsep pemerintahan
adalah :
Kerajaan
Republik
Federasi yang belum ada duanya pada masa itu
B. PENINGGALAN-PENINGGALAN KERAJAAN WAJO
1. Messid Tello,e dan Makam Assyiekh Al-Habib Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein
Mesjid kuno tosora merupakan mesjid
yang dibangun sekitar tahun 1621 oleh Syeckh Jamaluddin Akbar Husain
yang diduga oleh penduduk setempat punya hubungan darah dengan Nabi
Muhammad S.A.W
Salah satu peninggalan sejarah dari
puluhan peninggalan sejarah lainnya dikabupaten wajo yang yang masuk
dalam cagar budaya menjadi sejarah nasional adalah mesjid kuno yang
berada didesa Tosora Kecamatan Majauleng.
Tosora adalah daerah bekas ibu kota
Kabupaten Wajo pada abad 17 dan wilayah ini dikelilingi oleh 8 danau
kecil didaerah ini pula terdapat berbagai peninggalan sejarah mulai dari
makam raja-raja wajo sampai dengan gudang bekas penyimpangan amunisi
kerajaan.
Konon, mesjid yang memiliki arsitektur
berlanggam indonesia asli itu memiliki denah dasar bujur sangkar tanpa
serambi. Kemiripan bangunan mesjid ini merupakan dapat ditemukan pada
daerah bekas ibu kota kerajaan islam seperti Palopo, Gowa, Buton,
Banten, Jawa, Sumatra, dan Ternate.
Bangunan Dinding mesjid ini dibuat dari
susunan batu-batu sedimen tidak sama dan menggunakan perekat semacam
kapur yang dicampur putih telur dan lokasi ini sering dijadikan sebagai
lokasi wisata sejarah.
Sementara, Dinding dari mesjid ini
mengunakan batu sedimen yang hingga kini belum diketahui tingginya. Atas
prakarsa Salewatang Haji Andi Mallanti, telah dibangun dilokasi mesjid
kolam untuk air wudhu. Dengan kedalaman 94 samapi 99 centimeter, kolam
air Wudhu ini dibangun pada priode belakangan.
Kepada penulis, pesiarah mengatakan
bahwa mesjid ini sangat membutuhkan perhatian khusus karena ini
merupakan cagar budaya peninggalan sejarah dimana Tosora sebelumnya
adalah pusat ibu kota pada masa penjajahan dan sebelum adanya pemerintah
kabupaten, Tosora menjadi pusat kerajaan pada masa batara dan arung
matowa.
Lebih lanjut dirinya menceritakan
proses pembuatan mesjid tua sesuai ceritra rakyat pada masa dulu dimana
katanya mesjid tua itu menggunankan campuran putih telur sebagai bahan
perekat dan pada masa itu sekitar dua tahun penduduk tidak bisa
kembangkan ternak karena telur ayamnya disumbangkan untuk pembuatan
mesjid.
“Dulu sesuai cerita rakyat antara
tosora ke paria rumah berjejer rapi dan ketika hujan orang tua kita
dahulu bisa sampai kesekolahnya diparia sekitar puluhan kilo tanpa
diguyur hujan meski hanya jalan kaki pada tahun 1985 ada ada peneliti
yang ingin mengetahui kebenarannya puin demi puin diuji samapi dua bulan
baru mereka mendapatkan hasil kebenaran bahan bangunan mesjid,”
Jelasnya
Terkait dengan keberadaan cagar budaya
itu, dirinya berharap pemerintah bisa memberikan dana pemeliharaan
karena mesjid yang dibangun pada tahun 1621 itu sudah mulai memudar
sehingga butuh perawatan setidaknya diberikan atap sementara dinding
mimbar sudah ditumbuhi pepohonan kalau dicabut dikwatirkan akan merusak
keaslian bangunannya.
“Selain itu mesjid ini terkadang masih
digunakan oleh pendatag khususnya mereka yang datang dari pulau jawa
untuk menggelar pengajian sehingga kami juga harapkan ada perbaikan
setidaknya bisa diberikan lantai karena ketika pengunjung dari jawa ini
menggelar pengajian, mereka menggunakan alas seadanya,” Pintanya
Selain itu katanya, jika diberikan
lantai maka bisa digunakan sebagai tempat pengajian bagi pemuka
agama.”ini dimaksud untuk mengenang pada pendahulu kita apalagi akan
sangat bermamfaat jika dijadikan sebagai pusat perayaan acara
keagamaan,”
Sejarah mesjid kuno tosora terdapat beberapa makam kuno yang disebut
dalam silsila salah satu diantaranya ada makam cucu Nabi Muhammad yang
ke 19.
Salah satu diantaranya adalah makam penghulu para Wali. Dengan
mengunakan nisan setengah bulat, makam setengah bulat ini adalah makam
Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang juga penggagas mesjid kuno tosora
itu.
Sementara sesuai dengan keterangan yang didapatkan penulis mengatakan
bahwa dalam silsilanya, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain masih merupakan
keturunan Nabi Muhammad yang ke 19.
Sementara makam kuno lainnya adalah Makam Arung Benteng Lagau dengan
mengunakan nisan tipe merian. Arung Benteng Lagau adalah salah seorang
mantan ketua majelis dan makam ini ditandai dengan dua buah nisan
merian.
Disamping ada makam Arung Benteng Lagau, ada nisan tipe pion. Tipe makam
ini menyerupai dengan bantuk pion yang terdiri atas tiga bagian yakni
dasar,badan dan kepala.
Sesuai dengan sejarah, bahwa para pengunjung khususnya dari Jawa
menggaku jika setelah dirinya melakukan siarah ke beberapa makam itu,
reskinya bertambah dan siarah ke makam itu bagi sebagian orang seakan
dijadikan sebagai rutinitas khusunya pengunjung dari pulau Jawa.
Kepada penulis, Alan salah seorang masyarakat desa tosora menuturkan
bahwa pada tiap tahunnya banyak pengurus pesantren dari pulau jawa yang
berkunjung kemakam ini karena mereka yakini kalau Syeckh Jamaluddin
Akbar Hussain yang dimakamkan di lokasi mesjid ini adalah bagian dari
keluarga mereka.
Menurutnya, kata Alan Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain adalah penghulu
para wali dipulau jawa termasuk Almarhum Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain
berumur lebih tua dari wali songo.
Dan bahkan pengunjung yang datang kemakam ini papar Alan, adalah
pengunjung dari berbagai daerah diluar pulau sulawesi dan meyakini kalau
dirinya adalah keturunan dari Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain.
“Bahkan menurut keterangan yang kami dapatkan ketika ada pengunjung
datang dari jawa, sebelum keindonesia, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain
perna berada di india dan membantu penduduk india pada suatu peran untuk
memenangkan pasukan islam dan pada ujung perang, Syeckh Jamaluddin
Akbar Hussain menghilang tanpa jejak,” Jelasnya
Pantauan penulis saat menelusuri halaman makam, memerlukan perhatian
khusus dari pemerintah terkait pemeliharaan baik pagar maupun beberapa
arsitektur lain yang kini tergolong mempertihatinkan termasuk pagar yang
saat ini terlihat mulai rapuh.
Selain itu, beberapa arsitektur lainnya yang ada didalam kawasan mesjid
Tua Tosora juga memerlukan perhatian utamanya anggaran pemeliharaan agar
mendapatkan kesan kalau cagar budaya yang bisa dijadikan sebagai wisata
sejara itu masih terawat.
1. Sumur Jodoh
Sumur jodoh
adalah sumur yang dipercaya apabila kita mandi atau membasuh muka dengan air
dari sumur itu maka cepat atau lambat akan mendapatkan jodoh. Namun, menurut
salah satu warga disana mengatakan bahwa sebagian warga di tosora tidak atau
kurang mempercayai sumur jodoh ini, hanya orang yang dari luar pulau terutama
orang dari pulau Jawa saja yang banyak datang ke sumur jodoh ini dan meminta
untuk mendapatkan jodoh.
2. Geddong’e
eddongnge
(Gedug Mesiu). Timbul beberapa pendapat tentang nama Geddongnge. Ada yang
mengatakan bahwa Geddongnge adalah sebuah bangunan tempat menyimpan
barang-barang seperti alat-alat perang dan hasil bumi penduduk. Sebagian lagi
mengatakan bahwa bangunan tersbut adalah bank(tempat menyimpang
uang).Geddongnge dibangun pada saman pemerintahan Lasalewangeng To Tenriruwa
sekitar tahun 1718 M. Pada saat itu perekonomian lancar dan awal dicetuskannya
pasukan bersenjata. Bahan baku bangunannya masih berasal dari batu gunung,
pasir, dan telur.
3. Benteng
Benteng pertahanan yang dibuat pada masa pemeeintahan, Awal
pelaksanaanya setelah diadakan musyawarahantara arung matoa
latentilai’ dengan penduduk negeri
mengenai rencena penyerangan belanda terhadap tosora.
Pada abad
ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan
Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis
(Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi tellumpoccoe untuk
membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa
dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh
armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani Perjanjian
Bungayya.Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan
Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah
pimpinan Arung Palakka
4.
Mushallah
Tua Menge
Mushollah Tua Menge dibangun sekitar tahun 1621 M.
Setelah selesai mesjid Tua Tosora dibangun. Perjalanan sejarah Islam sejak
masuknya hingga sekarang cukup banyak mencatat kenangan yang tak mudah
dilupakan. Dalam sejarah masuknya Islam di Wajo sekitar tahin1610 M. Agama
islam berkembang terus sampai sekarang. Mushollah Tua yang dibangun pada tahun
yang sama masa pembangunan mesjidnya Tua Tosora tercatat ada tujuh buah dengan
bahan baku yang sama yaitu batu gunung, pasir, dan telur.
Besarnya animo masyarakat menerima agama Islam tanpa
mengalami hambatan. Mereka menerima kebenaran Islam sesungguhnya. Bangunan
Mushollah selalu dimanfaatkan setiap waktu sholat, mereka berjamaah bersama.
Mushollah Tua
Menge ukuran bangunannya lebih kecil dari ukuran bangunan Mesjid Tua. Fisik
bangunan Mushollah Tua ini hanya berukuran 10m x 9,5m. Jarak antara Mesjid Tua
dengan Mushollah kurang lebih 100m dari arah Timur.
5.
Makam
Lasalewangeng Tenriruwa
makam Lasalewangeng Tenriruwa beliau
merupakan arung matoa Wajo ke 30. Beliau pernah menjadi raja di Limpo atau
Negeri Kampiri (arung Kampiri). Lasalewangeng memperkuat persenjataan Wajo dan
memprsiapkan peperangan terhadap Bone dan Belanda kira-kira tahun 1715 sampai
1736.
6.
Makam Lataddampare’
Puangrimaggalatung
Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung.
Disebut dalam lontara bahwa Lataddampare’ Puangrimaggalatung adalah seorang
ahli pikir dijamannya, dia juga seorang Negarawan, ahli strategi perang, ahli
dibidang pertanian dan ahli hukum.kejujurannya mejalankan pemerintahan terkenal
baik di dalam maupun di luar negeri. Beliau adalah arung matoa wajo ke 4 yang
berhasil menjadikan wajo sebagai sebuah kerajaan yang besar dan makmur
kira-kira tahun 1498 sampai 1528.
7. La Tenrilai’ Tosengngeng
La Tenrilai’
Tosengngeng adalah Arung Matowa Wajo ke-23. Ia diangkat menjadi Arung Matowa
setelah menggantikan Arung Matowa La Paremma Torewa Matinroe ri Passiringna
kira-kira tahun 1651-1658.
La Tenrilai’
Tosengngeng memegang tampuk pemerintahan dari tahun 1658-1670. Beliaulah yang
mendirikan Tosora menjadi Ibukota Kerajaan Wajo yaitu antara tahun1660-1670.
Peristiwa yang
sangat penting semasa pemerintahan La Tenrilai Tosengngeng adalah peperangan
yang timbul antara Gowa bersama sekutu-sekutunya disatu pihak dengan Bone
bersama Belanda di lain pihak.
Penyebab
kematian Arung Matowa La Tenrilai’ Tossengngeng karena kecelakaan, yaitu ketika
beliau membakar sumbu meriamnya untuk ditembakkan kepada lawan, beliau lupa
menutup tempat mesiunya, sehingga alat tersebut meledak dan mengena beliau,
akhirnya tewas seketika.
Ada beberapa
pendapat mengenai istilah wafatnya Arung Matowa La Tenrilai’ Tosengngeng. Ada
yang mengatakan Arung Palaiyyengi Musu’na (Raja yang meninggalkan
peperangannya) ada juga menggelarnya Djammenga ri alo-laona (yang mati di tempat
mesiunya).
Setelah Arung
Matowa La Tenrilai’ Tosengngeng wafat beliau digantikan oleh La Palili Tomalu
Puangna Gella, saudara dari Ranreng Bettengpola
Makam Besse Idalatikka, seorang gadis cantik yang sangat
To Palettei,
beliau meneruskan perjuangan melawan Bone dan Belanda.
8.
Makam Besse Idalatikka
ramah dan sopan.
Konon dia merupakan gadis tercantik di Kerajaan Wajo pada zamannya. Menurut
cerita makam besse idalatikka dibuat dengan memakai kayu di impor dari Malaysia
dan diukir di Kalimantan. Selain itu Makam Besse Idalatikka memang sudah di
pesan sebelum 2 bulan kematiannya.
9.
Saoraja Mallangga
WAJO merupakan
salah satu daerah yang pernah dipimpinan oleh kerajaan. Berbagai tradisi
kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini, salah satunya adalah pencucian
benda pusakapeninggalan kerajaan.
Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau rumah raja
(istana). Salah satu Saoraja yang dijadikan museum d kabupaten berjuluk Bumi
Lamaddukelleng ini, yakni Saoraja Mallangga museum simettengpola.
Keberadaan Saoraja ini menjadi bukti sejarah kerajaan Wajo. Tidak sulit untuk
menemukan museum ini. Terletak di Jl Ahmad Yani Kota Sengkang Kabupaten Wajo.
Arsitektur Saoraja Malangga cukup unik, bangunan berlantai dua ini merupakan
perpaduan bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung dengan bangunan khas
Belanda.
Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930, pada era kerajaan Ranreng Bettengpola
ke-26, Datu Makkaraka yang juga dikenal sebagai ahli lontara.
Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai bangunan
peninggalan sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusul menjadi museum pada
tahun 1993, dan diresmikan oleh Gubernur Sulsel, HM Amin Syam sebagai museum
pada tahun 2004.
Keunikan arsitektur bangunan ini menjadi daya tarik bagi pengunjung, terutama
bagi para pendatang yang baru berkunjung ke kota santri.
Ketika FAJAR bertandang ke Museum ini, tanpak pekarangan museum ini cukup asri
dan bersih, dengan balutan cat berwarna coklat, saoraja ini menggunakan lantai
dan dinding yang terbuat dari pilihan.
Staf Bidang Kebudayaan Disporabudpar Kabupaten Wajo, Aldi M.P Badja mengatakan
dalam bukunya Wajo dalam perspektif arsitektur, bentuk Saoraja di Kabupaten
Wajo umumnya tidak seperti bangunan Saoraja yang ada di daerah lain. Bangunan
ini kata dia memiliki filosofi yang menggambarkan kedekatan seorang raja dengan
rakyatnya.
Hal itu katanya dibuktikan dengan tidak diperkenankannya ada pagar pembatas
bangunan ini, tidak boleh menampilkan kemegahan atau terlalu besar, dan tidak
boleh tinggi serta pintu harus selalu terbuka lebar.
"Maknanya, rumah raja ini selalu terbuka untuk siapa saja.
Bentuk bangunannya pun secara umum masih dipertahankan seperti pada awal
didirikannya, hanya bagian atapnya yang telah 7 kali diganti," ujarnya.
Saat ini, Saoraja tersebut di huni oleh salah seorang putra Datu Makkaraka,
yakni H Datu Sangkuru,79 yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27 bersama
beberapa orang anaknya.
Salah seorang putri Datu Sangkuru yang juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi
Cidda Minasa mengatakan, alasan awal Saoraja ini dijadikan museum karena
khawatir peninggalan sejarah arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan
museum untuk melestarikan barang-barang peninggalan kerajaan terdahulu.
Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk pagelaran seni
tradisional Wajo, seperti Massure yaitu seni yang bercerita dalam bahasa bugis
lontara dan diiringi musik tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di museum
ini, seperti peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik antik, Serta
berbagai jenis keris dan tombak.
10.
Makam La Maddukkelleng
La Maddukkelleng adalah putera dari arung peneki La Mataesso To’ Ma’dettia
dan We Tenriangka Arung Singkang, saudara Arung Matowa La salewengeng To
Tenrirua.Komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukelleng yang terletak sekitar
200-an meter arah selatan Lapangan Merdeka di Kota Sengkang, ibukota Kabupaten
Wajo, Sulawesi Selatan, sekaligus merupakan lokasi pusara Raja Kutai
Kertanegara Ing Martadipura Ke-14, Sultan Adji Muhammad Idris.Di dalam komplek
makam yang baru saja mengalami pemugaran atas bantuan Pemerintah Kabupaten Kutai
Kertanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur tersebut, keseluruhan terdapat
lima makam selain makam Arung Siengkang Lamaddukkelleng yang ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional melalui Keppres No.109/TK/1998 tanggal 6 Nopember 1998.
Bentuk
nisan kelima makam tersebut berbeda satu dengan lainnya. Nisan Lamaddukelleng
yang wafat tahun 1765 hanya berupa bongkahan batu yang digeletakkan di atas
makam. Sedangkan makam Sultan Adji Muhammad Idris yang berdinding batu
ditinggikan, nisannya menyerupai kelopak daun berukir.
Makam
La Tombong To Massekutta yang diperkirakan wafat tahun 1762, salah seorang
putera Lamaddukkelleng, batu nisannya dibentuk menyerupai hulu keris (badik)
berukir. Nisan dua makam lainnya yang juga tebuat dari batu alam, satu
berbentuk perisai, dan satunya segi empat.
Dari
Komplek Makam Lamaddukkelleng yang telah berlantai marmer ini kita dapat
memandang vieuw indah pusat Kota Sengkang dengan Masjid Agung Ummul Qura yang
menaranya dibangun berada di areal Lapangan Merdeka, dipisah jalur jalan poros
menuju ke arah Kabupaten Soppeng.
Berada
persis di tepi jalur utama Kota Sengkang, sepanjang waktu lingkungan komplek
makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng tak pernah sepi. Apalagi hanya sekitar
25 meter di seberang jalan, terletak sejumlah kantor dinas dalam lingkup Pemkab
Wajo. Sedangkan di bagian belakang serta sisi kiri-kanan komplek diapit
bangunan perkantoran dan perumahan penduduk.
Pemugaran
makam Lamaddukkelleng yang menggunakan konstruksi atap tradisional Bugis
tersebut, tampak menambah menawan kawasan pusat Kota Sengkang yang beberapa
kali berturut dianugerahi penghargaan Piala Adipura untuk kategori Kota Kecil.
Kota Sengkang sendiri dikenal dengan julukan sebagai Kota Sutera, lantaran
wilayah di pesisir Danau Tempe inilah pusatnya pertenunan sarung sutera di
Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam riwayat perjuangan Pahlawan
Nasional Lamaddukkelleng, sangat jelas paparan dengan bukti kesejarahan yang
kuat bahwa anak dari pasangan Mata Esso Lamadettia Arung Peneki (ayah) dan We
Tenri Ampa (ibu) ini kawin dengan seorang puteri bangsawan Kutai.
Lamaddukkelleng diperkirakan sudah menjelajah di wilayah Pasir, Kutai tahun
1714.
Mungkin itulah sebabnya
Lamaddukelleng yang pasukan armada lautnya sangat ditakuti pihak Belanda pada
abad XVII di perairan Indonesia Timur, perairan Filipina dan Selat Malaka, juga
dapat diangkat sebagai Sultan Pasir alias Arung Pasere. Memerintah selama
sekitar 10 tahun (1726 – 1736), sebelum ia kembali menjadi Arung Wajo (Raja
Wajo) di kampung halamannnya (kini wilayah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan)
dari tahun 1736 – 1740.
Sultan Adji Muhammad Idris yang
memerintah sebagai Sultan Kutai tahun 1732 – 1739 merupakan anak mantu,
lantaran mempersunting salah seorang anak, puteri dari Lamaddukkelleng.
Ketika mertuanya, Lamaddukkelleng
terdesak oleh serangan Belanda saat menjadi Arung Wajo, Sultan Adji Muhammad
Idris meninggalkan tahtanya di Kutai datang ke Wajo bersama pasukannya untuk
membantu perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Diiperkirakan pada awal tahun
1739.
Belum ditemukan data yang pasti apa
penyebab Sultan Adji Muhammad Idris wafat. Namun sejarawan Unhas,
Prof.Dr.H.A.Zainal Abidin Farid (alm) dalam bukunya ‘Kiat-kiat Kepahlawanan
La Maddukkelleng Arung Matoa Wajo dalam Usaha Mengusir Orang-orang Belanda dari
Makassar dalam peperangan melawan Belanda di Makassar’’ terbitan Pemkab
Wajo (1994), memperkirakan Sultan terluka dalam suatu perang ketika dilakukan
penyerangan terhadap Belanda di Makassar, lalu dibawa kembali ke Wajo, kemudian
wafat serta dimakamkan di kampung halaman mertuanya.
Almarhum Sultan Adji Muhammad Idris
yang kemudian tercatat dalam catatan lama di Sulawesi Selatan dengan gelar
Darise Daenna Parasi Petta Kutai Petta Matinro ri Kawanne. Ada juga catatan
yang menyebut Titian Aji dikaitkan dengan wafatnya Sultan Adji Muhammad Idris.
Apakah nama itu merupakan sebutan lama yang menjadi lokasi tempat pemakaman
yang kini menjadi komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng di Kota
Sengkang atau lokasi dimana Sultan wafat ketika melakukan perlawanan terhadap
tentara Belanda, masih dibutuhkan penelusuran data yang pasti.
Jika diperhatikan dari bentuk kelima
makam yang ada di komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, maka
boleh jadi makam Raja Kutai Sultan Adji Muhammad Idris yang pertama dikebumikan
di lokasi tersebut. Tak hanya dilihat dari deretan makam Sultan yang letaknya
paling utara, tapi juga dari bentuk makam yang terlihat dibuat lebih istimewa
dari bentuk makam lainnya. Hal itu boleh terjadi, dengan asumsi, ketika Sultan
Adji Muhammad Idris dimakamkan, sang mertua yang berkuasa sebagai Arung (Raja)
Wajo, Lamaddukkelleng masih hidup.
11.
Goa Nippon
Keberadaan Goa Nippon merupakan bukti
sejarah peninggalan tentara Jepang pada perang dunia II, ada goa yang berbentuk
huruf “L, I, U” dan lainnya. Bagi pengunjung yang ingin berimajinasi dan
bernostalgia untuk mengenang masa lampau. Di lokasi terdapat berbagai benda
khas peninggalan zaman Jepang. Dipandu oleh petugas yang akan menjelaskan goa
sejarah ini sehingga pengunjung memiliki pengalaman dan pengetahuan baru
tentang zaman pendudukan Jepang di Kabupaten Wajo.